Ditulis oleh: Diajeng I. Angelia B.
Bisakah Anda bayangkan sebuah perusahaan yang SEMUA orang punya keahlian yang sama persis? Semua pintar berbicara, dan tidak ada yang mahir menghitung, misalnya. Efektifkah? Tentu tidak. Dan begitu juga pendidikan.
Bisakah Anda bayangkan sebuah perusahaan yang SEMUA orang punya keahlian yang sama persis? Semua pintar berbicara, dan tidak ada yang mahir menghitung, misalnya. Efektifkah? Tentu tidak. Dan begitu juga pendidikan.
Perbedaan dalam pembelajaran selayaknya dipandang sebagai harta berharga. Sekilas, kalimat tersebut terkesan sederhana dan mulia, namun tidak demikian kenyataannya. Perbedaan kompetensi di awal belajar, misalnya. Sungguh mudah dan nyaman untuk guru jika dalam sebuah kelas TK semua muridnya sudah bisa membaca. Bagaimana jika tidak? Bebankah untuk guru? Tentu tidak. Murid yang belum lancar belajar baca dari temannya yang lebih lancar, lalu murid yang sudah lancar belajar kerja keras dari perjuangan temannya belajar membaca. Belum lagi jika murid belajar communal learning, yaitu belajar dari satu sama lain. Suasana belajar ini akan sangat bermanfaat di kemudian hari karena memang di dunia nyata, peran guru/mentor akan semakin luntur dan bergantikan belajar dari sesama. Dengan diakuinya perbedaan pada kompetensi awal murid, maka pemberian nilai tidak lagi senaif seberapa lancar dia SEKARANG bisa membaca, namun juga seberapa jauh dia sudah berkembang SEJAK AWAL BELAJAR HINGGA SEKARANG.
Perbedaan minatpun menyumbang pengalaman belajar yang sangat berharga. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana tahun 1997 saat saya kelas 1 SMA dan kami sekelas diminta guru kesenian belajar menari poco-poco bersama. Tentu saya melakukannya, namun sejujurnya saya tak bisa berhenti berharap andai saja saya diperbolehkan mempelajari tari sajojo. Daripada “menyeragamkan” minat, guru sebenarnya punya pilihan untuk memberikan tema besar dan membebaskan murid untuk meriset topik yang mereka minati dan memperlihatkan hasil pencariannya ke teman sekelasnya dalam forum diskusi atau grup kritik. Dengan cara ini, keterlibatan murid dalam pengambilan keputusan dapat dimaksimalkan, membuat murid mempunyai rasa memiliki yang besar pada proses pembelajaran. Di samping itu, murid dapat mempelajari banyak hal dalam satu waktu dengan intervensi minim dari guru; meriset topik pilihannya, dan mendengarkan paparan teman-temannya tentang topik mereka masing-masing.
Yang juga menarik untuk dikupas adalah tentu saja perbedaan kemahiran. Sejak tahun 1983 Howard Gardner menawarkan teori kecerdasan majemuk; dari bahasa, visual, matematika, jasmani, musik, interpersonal, intrapersonal sampai naturalis. Pada tahun 2018 ini, sudah seberapa “sadar”kah kita menerima bahwa si atlet tidak perlu bisa cas-cis-cus Bahasa Inggris? Atau si seniman tidak perlu bisa kayang? Atau si musisi tidak perlu bisa mengaplikasikan rumus statistik? Saya setuju bahwa mereka harus mengalami pembelajarannya sampai titik tertentu, namun nilai rendah ataupun stempel “tidak lulus” tidak seharusnya membuat orang tua panik lalu memberi target capaian yang malah membuat putra/putrinya stress dan rendah diri. Apa yang bisa dilakukan? Menggali keunggulan putra/putrinya, dan mengasahnya. Ingat, tidak pernah akan ada “Freddy Mercury” jika dia dipaksa belajar atletik, misalnya.
Karena manusia tidak mungkin distandarisasi, maka pendidikan juga tak mungkin seragam. Pendidikan selayaknya menggali dan mengasah potensi setiap manusia. Pendidikan seharusnya memerdekakan.
Comments